Delapan orang duduk mengelilingi meja makan di sebuah ruangan yang telalu besar dengan lilin berpendar-pendar. Penerangan tidak begitu baik sehingga kita tidak dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Hanya satu orang, yang duduk di paling ujung, wajahnya terlihat. Bayang-bayang lekuk mukanya menari liar, seiring lilin di dekatnya yang selalu gelisah. Dia angkat bicara.
Selamat datang, kawan-kawanku tercinta. Senang sekali rasanya bisa menjamu tujuh orang sutradara muda Indonesia yang sedang naik daun. Apakah semua sudah hadir? Sebentar saya absen..., Rako Prijanto, Riri Riza, Ray Nayoan, Robby Ertanto, Raditya Sidharta..., astaga, kok namanya berawal “R” semua, ya? Oh ya, dan Anda berdua, Kimo Stambul dan Timothy Tjahjanto, alias The Mo Brothers.
Pertama-tama, saya mohon maaf sudah berbohong. Anda semua memang ternyata bukan diundang oleh Brian Yuzna dan San Fu Maltha, yang memproduseri film ini. Anda diundang oleh... saya. Tapi bergembiralah. Saya sangat menghormati kedua orang itu, dan pasti Anda semua juga begitu kan? Harus begitu dong, karena bagaimanapun mereka te lah menjadi mentor Anda, guru Anda.
Sekali lagi, kawan-kawan sutradara mempersembahkan sebuah karya berbentuk antologi. Di Indonesia format ini sedang laku sekali ya? Saya mengerti, format ini enak sekali untuk belajar dan bereksperimen. Anda semua tentu ingin kelak tampil sendiri-sendiri dengan mahakarya masing-masing, bukan? Baiklah. Dan saya senang sekali, Anda semua tampak antusias mengeksplorasi bentuk film horor.
Kenapa saya senang? Karena film horor jarang dianggap sebagai film serius. Selalu masuk ke dalam diskusi wilayah pinggiran, subkultur, budaya rendah. Mungkin karena horor mengutak-atik rasa takut, salah satu insting manusia yang paling purba, sehingga ia tidak pantas untuk masuk ke wilayah seni-tinggi dengan segala pretensi budayanya. Sudah begitu, horor Indonesia belakangan ini selalu tampil menggelikan dan menyedihkan. Menakutkan tidak, lucu pun tidak, kecuali lucu yang tidak sengaja. Duh , prihatinnya saya. Tapi..., ah, Anda semua ternyata masih peduli pada horor Indonesia! Saya senang, senang sekali!
Uhuk-uhuk. Ahem. Maaf.
Juga, saya salut karena Anda berinisiatif mengeksplorasi rasa takut, termasuk yang tidak hanya datang dari hantu-hantuan. Ada yang mencoba bentuk thriller, meskipun bagi saya rasa horor dan thriller itu berbeda. Lalu ada yang mencoba horor-apokaliptik, ada malahan yang black-comedy. Tapi ide dan realisasi adalah dua hal yang berbeda, kawan-kawan. Makanya saya tidak bisa terus-menerus memuji. Sayang sekali. Ijinkan saya mengapresiasinya satu persatu.
Mas Rako, Anda kan yang membuat Show Unit? Yang tentang seorang calon pengantin tidak sengaja membunuh dan harus menyembunyikan mayat. Ya, ya. Nah, ini yang saya masukkan ke golongan thriller, bukan horor. Karena rasa tegang dan cemas berbeda dengan rasa takut per se. Ketegangan karena thriller sifatnya antisipatif dan dekat dengan misteri. Di sana, orang berdebar karena menanti sesuatu yang mengejutkan. Sedangkan rasa takut akibat horor adalah perasaan tak berdaya karena sudah terekspos kepada hal yang mengerikan atau mengejutkan tadi. Tapi tak mengapa. Toh film ini judulnya Takut, bukannya ‘Horor’ kan? Lagipula, film horor sudah jamak mengkombinasikan unsur-unsur thriller, horor dan misteri.
Ahem, maaf. Saya melantur lagi.
Show Unit , saya bilang, hmm...Sin City sekali ya, dengan trik separasi warna tertentu itu, dan mendesaturasi warna-warna lain. Lukman Sardi, seperti biasa, okelah. Menegangkan di paruh pertama, tapi ketika masuk ke plot hilangnya mayat, malah agak kendor. Masuknya tokoh yang diperankan Dendy Subangil agak keterlaluan unsur kebetulannya. Jujur saja, menjelang akhir, ketegangannya menurun, meskipun ending-nya cukup proper.
Nah , Mas Riri, astaga, saya tidak menyangka Mas mau menggarap film horor. Judulnya, apa nih..., oh, ya, Titisan Naya, tentang seorang anak muda yang meremehkan ritual klenik di keluarga besarnya. Sudah begitu, bertindak sompral pula, dengan menggoda sepupunya sendiri. Seperti biasa, kekuatan Mas Riri ada di level personal para tokohnya, ya. Dan juga detailnya itu..., wah, salut saya. Proses menuju klimaksnya berhasil, meskipun ada trik lama yang agak kampungan, yaitu kotak rokok yang bergeser sendiri. Tapi secara keseluruhannya berhasil. Rasa takut tidak datang dari hal-hal yang mengejutkan saja, tapi dibagi rata sepanjang ¾ akhir durasi. Konon bagian ending-nya memang menggambarkan kondisi seseorang yang sedang dalam keadaan..., ehm, ‘itu’. Saya tidak mau membocorkan akhir ceritanya. Angkat gelas untuk Mas Riri! Saya bersulang!
Oh, maaf. Mas tidak bisa mengangkat gelas ya. Anda semua sedang terikat.
Mari ke film berikutnya. Peeper , karya Ray Nayoan. Ah, Mas Ray, saya harus bilang apa ya? Menarik sih. Ceritanya tentang seorang pengintip cabul. Tapi saya harus jujur, di saat Riri Riza berhasil berkelit dari klise bahwa yang-tradisional-itu-seram, Anda masih agak terjerat perangkap itu. Selain itu, dengan karakterisasi si pengintip yang begitu tidak simpatik, penonton sudah tahu bagaimana akhir nasibnya sejak semula. Tertebaknya cerita semestinya bisa diselamatkan dengan penggarapan adegan untuk menimbulkan rasa takut. Tapi, sekali lagi sayang, masih agak nanggung. Hanya, saya tersenyum kecil oleh permainan kata di sinopsisnya, “cinta itu membutakan”. Ha ha.
Ehem. Tapi kalimat cerdas itu tetap bukan filmnya, Mas Ray.
Berikutnya, The List, karya Robby Ertanto. Aha. Siasat yang bagus, Mas Robby. Kalau tidak bisa menakuti, bikin tertawa saja. Ceritanya tentang perempuan sakit hati yang mengguna-guna mantan pacarnya dengan bantuan dukun. Ha ha. Salut, mas Robby. Ceritanya Indonesia sekali, meskipun saya mengucapkannya dengan sedih. Sakit hati, iri, kesal, larinya ke dukun dan klenik. Anda berhasil mencampurkan komedi dan rasa ngeri campur jijik, menghasilkan black comedy yang berhasil. Special effects-nya meyakinkan untuk ukuran film Indonesia. Angkat gela.... Maaf. Saya lupa.
Lalu ada..., hmm, apa ini? The Rescue, karya Raditya Sidharta. Wah, wah, horor bergenre apokaliptik di Indonesia? Zombie berkeliaran di Jakarta yang jadi kota mati? Anda sungguh berani. Saya salut. Menonton film Anda bagaikan menonton 28 Days Later, lengkap dengan gaya kamera dan gambar-gambarnya, asal suaranya saya matikan. Oh, tak usah melotot, dong. Akan saya jelaskan kenapa. Karena saya tidak tahan dengan dialog film Anda, Mas Sidharta. Apa Anda menyuruh salah satu zombie itu yang mengetiknya? Apa Anda lalu memaksa para aktor untuk ikut jadi zombie, dengan mengikuti begitu saja dialog yang tertulis?
Oh, maaf. Anda tidak bisa menjawab ya. Anda semua disumbat.
Nah , mari kita ke film terakhir. Dara, karya Anda berdua, The Mo Brothers. Hoho, rupanya antologi ini menganut resep “save the best for last”, ya. Kisahnya tentang Dara, seorang chef cantik yang misterius dan teman-teman kencannya. Luar biasa. Ini film favorit saya di antologi ini. Seni peran, black comedy, segala jenis horor, dari yang menggiriskan sampai menjijikkan, berpadu baik di sini.
Padahal sebetulnya kalau saya lihat, kesuksesan Dara hanya karena Anda berdua bisa meramu resep-resep dasar film slasher dengan apik. Ibarat koki, Anda bisa mengikuti resep, tapi masih belum bisa menciptakan resep sendiri. Anda harus menempuh jalan lagi untuk bisa tampil unik kelak, dan saya optimis kok. Oh ya, haha. Sebelum lupa. Tampilan makanan di film ini mengingatkan saya waktu menonton 301/302. Terlihat eksotis tapi membunuh selera. Padahal itu sebelum ketahuan sebabnya kenapa.
Dan karena itu saya belum menyajikan makanan di hadapan Anda semua. Maaf.
Begitulah, kawan-kawan. Secara keseluruhan, saya puas. Format antologi ini ternyata jadi ajang belajar yang mengasyikkan ya? Asal Anda benar-benar belajar saja lho. Oh, hampir lupa, saya ingin bilang juga, bahwa di film ini terlihat: sudut pandang kelas menengah urban tidak dapat dilepaskan begitu saja, ternyata. Bukan sesuatu yang buruk lho, itu. Malah bisa jadi kekuatan. Seperti terlihat di hampir semua film, Anda terlihat kaya referensi, hafal khazanah film dunia, meminjam kosavisual dari luar, dan mencampurkannya dengan hasil yang berbeda.
Misalnya di filmnya Mas Riri. Dengan sadar dia mengambil sudut pandang orang muda, kelas menengah urban, dan begitu terasingkan dari akar budayanya sendiri sehingga dia menganggapnya remeh. Akibatnya, budaya nenek moyang jadi terlihat sebagai yang liyan (the other): begitu asing sehingga ketidakmengertian sang tokoh terhadapnya berubah jadi rasa takut. Terlihat di situ, dalam tiga generasi, apresiasi terhadap budaya semakin meluntur. Sang nenek masih melakukan ritual, sang ibu menganggap tidak penting tapi masih mau menghormati, sementara sang cucu –si tokoh kita ini– mencemooh begitu saja.
Sudut pandang itu bisa juga mengganggu. Misalnya di Peeper, di mana orang-orang kelas buruh ditampilkan dengan gaya bahasa yang harus terlihat lugu sekaligus bombastis, seperti terlihat di gaya bicara para karyawati di awal film. Nah, yang paling mengganggu adalah penggambaran di Show Unit. Bagaimana mungkin Anda bisa begitu stereotipikal bahkan dalam menggambarkan supir taksi, dengan handuk tersampir di leher? Memangnya di taksi tidak ada AC-nya ya? Juga dengan kepala goyang yang alangkah noraknya sambil mendengarkan dangdut, memangnya orang kelas bawah harus seperti itu ya?
Ahem. Sudahlah. Saya tidak ingin Anda kesal. Saya puas kok, menonton film-film Anda. Maka ijinkan saya benar-benar menjamu dengan sajian..., kenapa? Kenapa pada melotot dan meronta-ronta? Ada siapa memangnya?
Ooh. Dia. Perkenalkan, ini juru masak saya, yang akan memasakkan makanan untuk Anda semua. Namanya Dara. Mungkin ada yang mau membantunya di dapur?
Download
Download Film From IDWS KLIK DISINI
Jangan segan untuk menggunakan widget serta banyak fitur lainnya yang disediakan oleh CariFilm, Contack Admin kalau dirasa masih kurang jelas via Private Massage atau Pesan Singkat. Kembali ke Halaman utama..
Ayo berbagi kesan & Pengalaman film kamu buat orang lain, rekomendasi kamu buat kita semua sama-sama senang..
Silahkan tinggalkan pesan atau yang sopan, no Junk/Spam.. Apabila telah menyalahi aturan main administrator tidak akan segan untuk menghapus thread post tersebut.
Post a Comment
Ayo berbagi kesan & Pengalaman film kamu buat orang lain, rekomendasi kamu buat kita semua sama-sama senang..
Silahkan tinggalkan pesan atau yang sopan, no Junk/Spam.. Apabila telah menyalahi aturan main administrator tidak akan segan untuk menghapus thread post tersebut.