Cari-film

Motor penggerak cerita film Tropa de Elite terdengar sederhana: Sri Paus hendak menyambangi kota Rio de Janeiro, dan demi menutupi borok-borok kota, pasukan elit gerak cepat polisi Brazil (Batalhão de Operações Policiais Especiais - BOPE) ditugaskan untuk mengamankan pelosok kota. Padahal Rio de Janeiro adalah kota yang tubuhnya terutama terdiri dari favela (hunian kumuh) yang dijejali penduduk miskin, bandit dan penjahat bersenjata. Tentu saja ini tugas berat buat Kapten Nascimento (Wagner Moura) dan anak buahnya. Bagaimana mereka harus melaksanakan tugas ini? Dengan motivasi yang tak sepenuhnya mulia seperti tadi, Tropa de Elite berpotensi menjadi cerita yang menggelitik. Pada kenyataannya, film ini justru sesungguhnya mengikuti formula film perjuangan ala kita, atau film-film yang menggambarkan kedigjayaan militer Amerika. Hanya saja sutradara José Padilha berhasil menerapkan formula itu di dalam konteks yang sangat aktual dan faktual di negerinya. Tetapi memangnya seperti apa sih formula yang saya sebut tadi? Mari kita kaji resep dasarnya satu persatu. Resep pertama. Ingatkah Anda akan film Navy Seals, Band of Brothers dan lain-lainnya yang menitikberatkan pada sekelompok prajurit yang dididik untuk merasa spesial, eksklusif dan ternyata memang spesial, setidaknya di film? Dan juga yang menitikberatkan pada rasa persaudaraan yang kuat antar prajurit? Nah, kira-kira semangat seperti itu yang jadi salah satu bahan dasar film ini. Resep kedua menuntut sedikit imajinasi. Katakanlah ceritanya tentang sekelompok prajurit Kopassus, dan sponsornya adalah korps Kopassus sendiri (bukan TNI-nya). Bagaimana kira-kira persepsi mereka terhadap tentara teritorial yang ditempatkan di tingkat kecamatan/kelurahan, yang disiplinnya jauh lebih kendor, dan bahkan mungkin perut para serdadunya mulai membuncit karena jarang latihan? Resep ketiga. Ingatkah Anda bagaimana positioning militer dalam film-film perjuangan kita, dan bagaimana penggambaran terhadap rakyat sipilnya? Kemungkinannya seringkali hanya ini: lari ketakutan ketika ada Belanda, atau mendukung penuh TNI sambil terbungkuk-bungkuk dan mengelu-elukan, atau jadi pengkhianat bangsa. Atau pasif dan takluk seperti sosok Sultan Hamengkubuwono IX ala film Janur Kuning. Resep keempat. Kopassus juga manusia. Rasanya belum afdol jika sosok para pahlawan kita tidak ditampilkan seperti manusia yang juga punya perasaan. Masuklah bumbu-bumbu percintaan, keluarga atau lain-lain intrik pernik yang menegaskan bahwa sosok pahlawan kita juga manusia, tapi yang lebih baik dong, tentunya. Nah, sekarang aduk keempat resep dasar tadi, lalu naikkan intensitasnya. Keraskan volume, naikkan tempo, geber amplifier, kocok gitar penuh distorsi, dan berjingkrak sepenuh tenaga, jadilah Tropa de Elite. Inilah film dengan intensitas begitu tinggi, sehingga tidak mengejutkan jika seandainya saja semua kalimat dalam naskah skenarionya diakhiri dengan tanda seru. Bukan dosa tentunya kalau José Padilha mengambil gaya yang melelahkan ini, karena pada dasarnya film ini adalah film aksi tingkat tinggi, yang menuntut tempo dan hentakan yang sesuai. Maka, penggemar film aksi mungkin akan menemukan harta karun, sementara penggemar kisah-kisah reflektif, personal dan tenang lebih baik menjauh saja. (Adrian Syah 2009) Info Movie : IMDb